Sekolah ini adalah suatu eksperimen soal keberlanjutan ekonomi suatu organisasi, baik yang material maupun non-material. Kami ingin menguji sekolah sebagai taman gagasan, laboratorium afeksi, arena konflik dan ruang persekutuan ide-ide baru. Di sekolah ini, kami belum tahu apa yang akan dipelajari, dan tidak ingin membangun asumsi tentang apa yang harus dan tidak harus dipelajari. Kami ingin belajar bersama, sembari menginterogasi arti kebersamaan itu sendiri.
Di tubuh kami tertanam sejarah dan kenangan yang dibentuk oleh pendidikan formal–gedung sekolah, guru yang mulia, seragam, upacara bendera, bangku-bangku kayu, perpustakaan, pagar yang tinggi, lorong-lorong sempit menuju ruang kelas, hapalan-hapalan, ujian-ujian, nilai-nilai, peringkat, buku rapor dan hukuman yang datang sesekali.
Sekolah kami sengaja berangkat dari pertanyaan, apa yang dimaksud dengan salah didik? Hubungan guru-siswa yang hirarkis, kami persoalkan. Pedagogi yang menyeragamkan tubuh dan pikiran, kami pertanyakan. Kurikulum yang mengedepankan nilai guna, kami imajinasikan ulang. Apakah cukup untuk menyebut diri sebagai “alternatif” dari lembaga pendidikan formal? Bagaimana cara mengoperasikan sistem belajar di luar sekolah tanpa mereproduksi bentuk-bentuk konsumsi pengetahuan khas pendidikan formal?
Kami ingin menata ulang apa yang dimaksud sebagai ruang kelas dan mengundang orang-orang salah didik untuk mengisi dan mengacaukannya. Di Sekolah Salah Didik, makna otoritas dalam pengetahuan akan diperiksa ulang. Yang kami cari adalah orang-orang yang berhasrat melakukan percobaan belajar-mengajar—menjadi guru dan murid sekaligus, berulang-alik dari satu model pendidikan ke model lainnya, serta mereka yang tertarik untuk menghapus batasan antara pendidikan dengan realitas sehari-hari.
Di ruang kelas Sekolah Salah Didik, Anda bisa berada di dalamnya, dan berpikir bahwa bisa saja Anda tidak berada di dalamnya. Sebagai prinsip-prinsip dasar, ruang ini menawarkan ketidakpastian dan keingintahuan. Dengan demikian kita bisa belajar apa makna belajar.