Merenungkan Nyantrik: Ngelmu dengan Merasai, Mencari Guru dalam Pikiran

Oleh Eliesta Handitya

Dalam sebuah catatan yang disitir dari buku “Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa”, Paul Stange memaknai sebuah proses belajar dan menimba ilmu a la orang jawa: menggunakan sudut pandang “rasa”. Namun, terkadang dalam lingkup pembelajaran serba-modern ini, “rasa” seringkali sekadar jadi secuil nasi di pinggiran piring. Kehadiran “rasa” seolah hanya nampang menjadi refleksi pribadi, tetapi nyaris jarang dibincangkan dalam diskusi yang sifatnya teoretis, metodologis, atau analitik. Stange menjelaskan hal tersebut dengan menganalogikan pengetahuan sebagai ihwal yang kerap kali dimaknai sempit: semata-mata sebagai “kekuasaan” (power of knowledge). Maka, kesadaran terhadap proses belajar, lantas hanya terletak pada dimensi-dimensi kehidupan dan bentuk logika yang paling dapat diterima oleh nalar (Stange 2007).

Oleh karena analisis dituntut untuk serba saintifik dan logis, pemahaman terhadap pengetahuan akhirnya membangun dinding pembatas tegas antara the sacred and profane knowledges dari sebuah proses menggali ilmu. Konsep “rasa” didudukkan dalam pengetahuan sacred— hal-hal bersifat mistis dan irasional. Sementara pengetahuan-logis-ala-barat, dilihat sebagai the profane— sifatnya duniawi, rasional, dan dapat diukur lewat basis analisis keilmuan. Maka darinya lah, perasaan dan intuisi dalam proses belajar— Stange menyebutnya sebagai lokus jagad cilik (mikrokosmos; roh halus, diri, pribadi)— dimaknai hanya sebagai bumbu sampingan dalam penjelajahan manusia menggali pengetahuan di era modern. Bahkan, pengesampingan “rasa” itu, mungkin saja berkait pula dengan jejaring post-industrial yang selalu menghubungkan manusia, berkutat pada persoalan kontestasi untung-rugi, di mana segala jenis pengetahuan dituntut harus bisa diukur, dianalisis dengan rigid dan spesifik. Sejalan dengan argumen Stange yang mengatakan bahwasannya “…Dalam budaya pembangunan materi yang merajalela ini, kita memusatkan perhatian sehari-hari pada ekonomi. Seolah-olah perut, bukan jiwa, yang duduk sebagai raja di dalam badan kita…” (Stange 2007).

Padahal, bagi orang Jawa, “rasa” itu sendiri menjadi subjek substantif saat sedang mempelajari sesuatu (ngelmu). Ngelmu sendiri adalah cara seseorang menimba sebuah ilmu, mencari tahu dengan mengerahkan seluruh unsur dirinya. Tidak hanya pikiran dan otak yang menjalani, tetapi juga hati, ketubuhan, gestur, dan spirit turut melaku.  Dalam babak pertama buku Paul Stange, “Logika Rasa” , ia memberi contoh penelitian dengan mendalami Paguyuban Sumarah sebagai subjek penelitian, sebuah gerakan kebatinan yang keanggotaannya tersebar di kisaran wilayah Jawa. Dalam istilah Jawa, Sumarah sendiri berarti keadaan pasrah sepenuhnya. Sejalan dengan etos orang jawa kental dengan konsep nrimo (menerima). Dalam komunitas tersebut, para anggota Sumarah memiliki pembimbing spiritual yang disebut Pamong. Namun perlu diingat, pamong tidak memproklamirkan diri sendiri sebagai guru. Pamong adalah seorang pembimbing yang dipilih seiring proses berkomunitas berjalan. Ia dipilih berdasarkan intuisi; siapa yang dalam proses menghayati Sumarah, dianggap paling bijaksana, mampu mendengarkan, dan kharismatik. Sejalan dengan prinsip Buddha yang mengatakan bahwa guru tidak pernah sekadar saja asal ditunjuk. Seseorang dapat menjadi guru ketika orang-orang disekitarnya merasa ia cocok jadi guru. Prosesnya sedemikian natural, prosesual, intuitif, dan resiprosikal.

Dalam ngelmu, guru tidak hanya dipilih berdasarkan kapabilitasnya saja. Tapi juga acceptability— bagaimana seseorang (re: saya) menerima guru sebagai patron, berangkat dari proses belajar yang sedang dijalani. Bahasa lazimnya, klop-klop an antara si pembelajar dengan sang guru dalam ngelmu itu penting. Sama halnya ketika kita menunjuk seorang partner atau patron, kita memilih siapa yang paling mampu mengakomodasi suara kita, mendengar, dan saling berbincang. Di mana pembicaraan nantinya tidak perlu melulu berputar pada ilmu yang dicari, tetapi meluas tentang apa saja, bahkan semisal saling bercanda. Ngelmu menjadi efektif ketika hati dan “rasa” telah terkoneksi.

Pun merefleksikan dengan proses nyantrik yang saya jalani, yaitu mendalami bagaimana menulis cerita anak— meskipun belum jelas nyantrik bentuk apa yang sedang dilakoni ini— saya pun pada satu fase enggan berangkat dari menjadikan seseorang menjadi guru secara impulsif dan satu arah saja. Dalam proses menggali pengetahuan tentang cerita-anak, saat ini saya memilih untuk mencoba terus mencari, dan pada gilirannya, berharap menemukan “guru” sejati entah pada diri siapa saja yang memberikan inspirasi tentang kepenulisan cerita-fiksi-anak dalam bentuk apapun. Proses memilih guru secara prosesual demikian jauh membuat saya lebih nyaman menjalani nyantrik ini. ketimbang harus secara saklek menetapkan seseorang untuk menjadi guru pada awal perjumpaan, sementara keterikatan emosional mungkin saja belum sepenuhnya terbentuk.

Selepas membaca, saya merasa tulisan Stange tersebut begitu beresonansi dengan apa yang sedang saya pikirkan dalam kepala. Terutama kaitannya dengan ngelmu— mendalami pengetahuan tertentu dengan “merasai”. Semenjak saya berusaha menerapkan nyantrik dalam upaya menggali bagaimana cara membuat terbitan populer cerita anak, saya mulai mencari tahu lebih dalam tentang apa-apa yang berkait dengan semesta anak. Rupa-rupanya dalam prosesnya, saya merasakan diri saya tidak hanya bekerja dengan otak dan idealisme yang ndakik-ndakik. Malahan, diri saya tanpa diduga dihampiri keliaran imajinasi yang tak pernah terbayangkan akan terjadi. Sensitivitas saya terhadap hal-hal  berkait cerita anak pun terbangun seiring dengan proses pembelajaran yang saya jalani. Satu contoh, selepas tidur dan bermimpi aneh dua hari lalu, saya langsung menuju meja— menulis sebuah potongan cerpen fiksi. Hal yang sudah lama tak lagi saya lakukan, semenjak lepas SMA. Atau, beberapa waktu lalu, saya tetiba impulsif membeli pensil warna dan alat gambar, setelah tiga tahun ini vakum menggambar. Saya bahkan akhirnya kembali mengajar anak-anak di sebuah sanggar belajar, setelah semenjak satu tahun lalu tidak pernah aktif lagi. Seolah-olah semesta membungkus proses belajar saya menjelma menjadi pencarian dan penemuan yang penuh gejolak, yang prosesnya juga seringkali tidak terduga. Saya bahkan amat terkejut ketika mendapati diri saya seperti orang kesurupan: bangun dari mimpi, mencari buku tulis, kemudian secara instingtif, merangkai sebait cerita tentang sekumpulan manusia yang tinggal di sebuah negeri fiksi bernama Meraki.

Semua menjelma jadi proses “laku” dalam mendalami semesta anak dengan cara apapun, meskipun memang— hingga saat ini saya belum jua menemukan satu subjek “guru” dalam simulasi nyantrik ini. Namanya juga proses, benar begitu? Saya masih punya waktu untuk kembali mencari.

Namun, dalam simulasi nyantrik ini, saya pun berefleksi. Mungkin, yang paling penting sekarang, adalah memahami bagaimana proses nyantrik yang telah terjalani— rupanya mampu mengakomodasi rasa dan bahkan meningkatkan sensitivitas saya terhadap semesta anak. Proses yang mengajari untuk memaknai proses menimba ilmu dengan hati; Menjalani praktik laku ngelmu nan tidak melulu harus ribet menganalisis pengalaman saya melalui diskusi yang serba-saintifik. Sebab, apa yang saya rasakan jelas lebih dari sekadar artikulasi kata-kata. Ia adalah sebentuk proses mengalami. Pokoknya, as long as I happy with the process, I will just go on then. []

 

 Rujukan:

Stange, Paul. 2007. “Logika Rasa.” Dalam Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa, hlm. 3-26. Bantul: LKiS Yogyakarta.