Lapangan hidup sebagai ruang nyantrik-mentrik, memories of flying sandals, dan belajar seni pasca terampil: Wawancara dengan Jeannie Park dan Isti Fadah Nur Rohmah
Untuk menggali sumber-sumber informasi lebih dalam tentang praktik nyantrik, beberapa partisipan Sekolah Salah Didik yaitu Gita, Plapti, Shabia dan Zita, berkunjung ke Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) di Desa Kembaran, Bantul. PSBK didirikan tahun 1978 oleh pelukis dan koreografer Bagong Kussudiardja (1928 – 2004), dengan visi untuk membawa seniman dan masyarakat luas belajar kesenian yang dapat memberi kontribusi bagi kehidupan manusia. PSBK mewujudkan model belajar kesenian lewat program nyantrik-mentrik (cantrik = santri laki-laki, mentrik = santri perempuan) yang digerakkan sejak 1978 – 2002, dengan alumni lebih dari 900 orang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan negara-negara ASEAN.
Pada kesempatan kali ini kami mewawancarai Jeannie Park, direktur eksekutif Yayasan Bagong Kussudiardja (YBK) dan Isti Fadah Nur Rohmah, seniman teater yang kini bekerja sebagai koordinator program Seniman Pasca Terampil (SPT) di PSBK. Dalam transkrip percakapan (yang sudah disunting) di bawah ini, Mbak Jeannie bercerita tentang sejarah program cantrik-mentrik, adaptasi visi belajar kesenian Pak Bagong di PSBK, serta nilai-nilai yang ia tangkap dari kedekatannya dengan beberapa alumni program ini. Sementara itu, Isti lebih banyak memaparkan tentang program SPT, bagaimana ia memaknai dan menjalankannya, serta hubungan program ini dengan semangat dalam metode belajar cantrik-mentrik.
Catatan: Pertemuan ini merupakan bagian awal dari seri wawancara yang akan digulirkan oleh partisipan Sekolah Salah Didik untuk mengeksplorasi berbagai jejak sejarah, gagasan dan praktik dalam model belajar nyantrik dari pihak-pihak yang meneliti atau pernah terlibat nyantrik.
SSD : Bagaimana awalnya praktik cantrik-mentrik diterapkan dalam pembelajaran seni di PSBK?
Jeannie Park (JP) : Sebetulnya kalau sempat bertemu sama mas Djaduk, dia yang paling tepat menceritakan sejarahnya secara detail. Tapi berdasarkan informasi yang saya dapat melalui keluarga dan mantan muridnya, padepokan ini dibangun dari dua sumber inspirasi. Yang pertama adalah saat Pak Bagong memerankan sosok kyai dalam film Al-Kautsar (dirilis tahun 1976, ditulis oleh Asrul Sani dan disutradarai oleh Chaerul Umum—ed.). Syutingnya dilaksanakan di sebuah pondok pesantren di Magelang dan Pak Bagong harus menginap di sana selama kurang lebih satu minggu. Bisa dikatakan Pak Bagong sangat terkesan dengan pola-pola hidup di pesantren. Begitu banyak santri-santri yang hidup bersama, memelihara tempatnya bersama, dan ada guru, walau guru yang bukan dalam arti guru akademis. Di pesantren tersedia waktu serta ruang untuk menjadi bagian dari kehidupan di sana, sekaligus tujuannya untuk mempelajari lebih dalam mengenai nilai-nilai dalam agama Islam. Pak Bagong lalu berpikir, seandainya ada tempat seperti itu, tapi khusus untuk kesenian.
Yang kedua, Pak bagong bersekolah di Taman Siswa, gurunya adalah Ki Hajar Dewantara. Filosofi mengenai belajar dari Ki Hajar Dewantara sangat memberi pengalaman yang luar biasa mengenai konsep dasar tentang belajar. Mungkin jika Pak Bagong masih hidup, saya akan bertanya apa sih yang dimaksud belajar, gitu. Banyak tokoh-tokoh lain yang juga memberinya inspirasi, termasuk guru pertamanya di bidang tari, Gusti Tedjo Kusuma (tokoh tari Kraton Yogyakarta, pernah memimpin sekolah tari Krida Beksa Wirama tahun 1950-an—ed.), yang merupakan adiknya eyang Pak Bagong, karena eyangnya Pak Bagong kebetulan putra mahkota Keraton Yogyakarta. Itu cerita lain lagi yang sangat kompleks ya, jadi tidak mungkin sempat diceritakan di sini.
Tapi latar belakang itu juga sangat menarik, bahwa sepertinya ruang di dalam hidupnya menghadirkan berbagai tantangan yang bisa dikatakan sebagai garis-garis. Dan bagaimana bagaimana Pak Bagong bisa mengatasi garis-garis—dalam artian batasan—itu dengan caranya sendiri. Mengenai Padepokan ini, ia sudah menjadi titik, atau menurut saya sudah menjadi salah satu mahakarya Pak Bagong. Dalam artian ia seorang seniman yang sudah memiliki kepedulian untuk mengembangkan semacam ekosistem seni yang didukung melalui satu tempat yang bukan melalui “akademia”. Saat itu ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia—ed.) sudah berdiri sebagai akademia, ada juga ASRI dan berbagai akademia lain. Pak Bagong termasuk salah satu yang drop-out, termasuk anak, sampai cucunya juga drop-out. Bukan tidak percaya dengan akademia, tapi sepertinya ranah hidup atau lapangan hidup jauh lebih mampu memberikan suatu didikan yang bagi mereka itu bernilai.
SSD : Seperti apa struktur atau sistem belajar dalam program cantrik-mentrik? Apakah ada kurikulum belajar khusus yang diterapkan?
JP : Pak Bagong saat itu juga sudah memiliki sanggar tari, namanya Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiarjo (berdiri sejak tahun 1958 sepulangnya beliau dari belajar di Connecticut College School of Dance dan Studio Martha Graham di Amerika Serikat—ed.), yang memang fokus pada pembelajaran kepenarian seseorang. PLT bisa dikatakan seperti sanggar atau sekolah tari informal yang terbuka untuk masyarakat, siapa saja yang mau belajar bisa ke PLT. Tapi Pak Bagong merasa manajemen belajar di sanggar terlalu bebas atau kurang terstruktur. Jadi dia berharap dengan adanya padepokan bisa lebih terstruktur. Sistem belajar saya kurang tahu, tetapi yang jelas program per angkatan berjalan selama enam bulan. Mereka semua hidup bersama di sini dan ada berbagai kelas yang diikuti oleh semua peserta setiap harinya, mulai dari olah tubuh, karawitan, ketoprak, batik, penulisan dan tari.
Ada satu sesi pembelajaran yang disebut ‘kreativitas’. Yang paling lucu, ini hanya dari yang saya dengar dari mantan muridnya Pak Bagong ya, semua cantrik-mentrik selalu grogi saat mengikuti sesi itu karena Pak Bagong sendiri yang pegang. Menjelang sesi kreativitas ini, katanya kasus cantrik-mentrik lari ke Puskemas sangat tinggi. Kok bisa ya?! (tertawa). Ya mungkin mereka sangat deg-degan, takut nanti seandainya Pak Bagong minta melakukan sesuatu yang bagi mereka sangat absurd, meski sebenarnya ada logic tertentu di baliknya, karena itu menantang. Bagaimana seorang individu mencari, just go beyond apa yang sedang dilihat, gitu ya.
Mas Besar (Besar Widodo, pelaku teater, alumni cantrik mentrik, mantan direktur YBK—ed.) cerita, di sesi semacam ini mereka pernah harus berdiri berjajar sangat dekat, lalu diminta membuat 10 macam gerak. Awalnya mereka masih mikir dan bingung, tapi lama-lama mereka bisa karena tidak ada gerak yang dianggap lebih unggul dari gerak yang lain. Saya kira zaman itu asik banget ya, mereka dibawa ke Parangtritis, atau ke mana untuk eksplorasi. Banyak nilai-nilai yang dipetik para mantan murid, kebanyakan bersifat personal dan beberapa baru disadari belakangan. Nilai-nilai itu adalah kepekaan dalam memandang atau memandang ulang sesuatu, dengan menghargai manusia dan lingkungan sekitar. Kalau yang dipetik Mas Djaduk dalam praktiknya (Djaduk Ferianto, sutradara, musik, putra bungsu Pak Bagong—ed.) misalnya, peka melihat benda-benda yang umumnya dianggap sampah oleh masyarakat, dan dijadikan sebagai instrumen musikal sehinga dapat memiliki nilai baru. Di sini menarik bagi saya untuk bisa menggali bahan-bahan arsip Pak Bagong, untuk mencari fakta-fakta dari cerita-cerita mantan muridnya melalui catatan atau dokumentasi foto, atau melacak apa sih yang jadi tujuan Pak Bagong saat itu.

SSD: Bagaimana dan seperti apa visi atau nilai-nilai yang ditanamkan lewat proses cantrik-mentrik, mengingat pembelajarannya bukan hanya semata mengejar keterampilan dalam berkesenian?
Dari tahun 1978 sejak angkatan pertama sampai terakhir tahun 2002, ada kurang lebih 900-an individu yang pernah nyantrik-mentrik di sini dari awal sampai selesai. Banyak di antaranya yang akhirnya bertahan di Jogja, tetapi yang paling menarik dan aku rasa impact-nya paling besar adalah kerjasama Pak Bagong dengan berbagai pemerintah daerah. Jadi mereka mengirim orang untuk belajar di sini. Salah satu poin yang saya ingat dari hampir semua mantan muridnya, adalah Pak Bagong sangat encourage jangan copy-paste apa yang dipelajari di sini. Anda sudah memiliki bekal, saat pulang ke tempat asal masing-masing, lihatlah potensinya dan itu kembali kepada anda untuk mengembangkan selanjutnya. Dari sisi itu, aku merasa impact-nya yang paling gede adalah gaya membuka, menyediakan suatu cara untuk mereka bisa memandang hidup dengan cara mereka sendiri.
Sehingga pengalaman yang hadir di sini hanya sebagai cara, tool, learning tool, yang sebenernya untuk selanjutnya itu kembali pada mereka sendiri. Dari aspirasi semacam ini, ternyata ada cukup banyak mantan murid Pak Bagong menjadi tokoh di daerah masing-masing. Mereka bangun sanggar, walau PNS, tapi mereka juga jadi aktivis kebudayaan. Pak Bagong sendiri berharap semua yang pernah belajar di sini mau mengabdikan diri kepada masyarakat melalui dan dengan perantara seni. Itu kembali kepada individu bagaimana kita semua termasuk masyarakat, kalau mau, bukan hanya berkesenian tapi berbudaya. Jadi tanggung jawab individu ikut berbudaya ya beyond mampu menari, bermain musik atau berakting di atas panggung. Yang dicari ialah bagaimana melalui kesenian dapat memudahkan masyarakat untuk memaknai hidup, memaknai arti budaya yang dimiliki, dan masing-masing ini semuanya khas.
Selain itu, ternyata pernah ada program cantrik-mentrik untuk lingkup negara ASEAN. Jadi masing-masing negara mengirim perwakilan ke PSBK. Saat saya berbicara dengan beberapa alumninya, salah satu highlight yang paling diingat adalah proses belajar sama Pak Bagong. Kata mereka, kami belum bisa Bahasa Indonesia, tiba-tiba langsung tinggal bersama di sini di tengah-tengah desa yang masih sepi dan bangunannya dari gedhek, tapi Pak Bagong sangat menantang kami untuk berkolaborasi, untuk belajar berbagai hal. Salah satunya dari Filipina, dia bilang: “What’s the most important element or impact from this? I learned to become a better Filipino.” Wahh… Sama dengan yang dari Singapura, katanya, “I learned to become humble, I learned what means to become an artist, and the process was so personal like everybody started crying…“ Saya kira, wow… Begitu besar pengalaman yang didapat di sini. Jadi Pak Bagong itu bukan mengajar untuk mencetak seniman, tapi untuk menemukan, apa ya, calling in the purpose sebagai seniman. Ini bukan tentang struktur belajarnya, tapi pengalaman dan kebersamaannya.
SSD: Apakah Mbak Jeannie punya pandangan mengenai seperti apa peran dan sosok guru dalam proses cantrik-mentrik dan bagaimana karakter hubungan antara guru dan murid?
Saya nggak bisa menggambarkan secara eksplisit, dan lebih baik tanya mantan muridnya Pak Bagong. Tapi kalau saya melihatnya, masih ada semacam body language siapa yang paling depan dianggap sebagai guru. I don’t think anybody was berani, semuanya mengikuti apa yang diperintah. Tapi katanya ada momen-momen yang sangat demokratis, dan ada juga yang jadi sangat hierarkis. Jadi saya nggak tahu persisnya. Tapi hampir semua mantan murid punya memori saat Pak Bagong marah, and I was like, hmmm…. Aku pun ragu apakah ini cara menangkap muridnya saja, atau apakah ingatan atas guru-guru sekolah yang lain juga seperti itu.. Makanya saya tanya apa mereka bisa membuat semacam tulisan tentang memories mereka agar kita bisa pelajari terus. Hampir semuanya punya ingatan kuat atas sesuatu yang sama. Saat Pak Bagong marah. Why is that so, like it sticks to the memory gitu, pengalaman yang kurang menyenangkanlah, itu yang diingat. Maybe it’s the psychological aspect ya sehingga bisa nempel terus. Apakah Pak Bagong punya temper berdasarkan cerita saya dapat? Ya. Flying sandals? Ya. Jadi seperti itu, kalau terlambat harus push-up 50 kali. Otoriter, dan yang agak militeristik gitu juga ternyata ada, atau kemungkinan ada. Walau mungkin itu simply soal discipline with time. Dan juga untuk mendidik certain professionalism, dalam artian kalau ngomongin A, ya praktiknya harus A.
SSD: Bagaimana kelanjutan program cantrik-mentrik yang diolah PSBK setelah Pak Bagong meninggal?
JP: Pak Bagong meninggal tahun 2004. Secara fisik padepokan sudah expanded sangat luas dan pada saat itu bisa dikatakan keluarganya, meskipun sangat aktif berkesenian, merasa bahwa melanjutkan padepokan yang gede ini is a big responsibility. Tahun 2005 Mas Butet (Butet Kertaradjasa, aktor teater dan pelawak, anak kelima Pak Bagong—ed.) dan Mas Djaduk sempat mau merging studio mereka, tapi sepertinya sudah tidak sanggup kalau melanjutkan cantrik-mentrik seperti zaman Pak Bagong. Saat saya diajak ke sini bersama Mas Besar, kami merasa okelah kalau tempat ini bisa jadi art center. So, hadirlah Jagongan Wagen (JW) sebagai performance platform. Lalu waktu itu kami juga berpikir bagaimana seni bisa dipelajari tapi bukan untuk mencetak seniman, melainkan sebagai alat creative learning alternatif berbasis kesenian, dan ini persis seperti visi dasar cantrik-mentrik sebenarnya.
Selain program JW, sekitar tahun 2014 kami berpikir bagaimana bisa melanjutkan cantrik-mentrik tapi dengan cara yang berbeda, dan saat itu kami memulai program residensi Seniman Pasca Terampil (SPT). Kilas balik lagi, pada tahun 2012 saya mengikuti konferensi di Jepang tentang praktik residensi. Saya ingat berbagai gagasan tentang residensi dibicarakan di sana, apakah residensi hanya proses seniman pindah studio, atau ada konsep mengenai to be a resident, berada di suatu tempat baru, mau belajar paham dan mau akrab dengan lingkungan sekitar. Saat itu saya pikir, “Oh, Pak Bagong menciptakan artist residencies program yang pertama di Indonesia, sekitar tahun ‘78.” Sebab saya kira itulah purpose utamanya ya, pengalaman in different spaces and places, dan memperkaya, something lah, in some senses like the creative inspiration of the artist. Jadi kami berpikir bagaimana cantrik-mentrik sebagai platform residensi, kesempatan berkarya dan berkolaborasi yang beyond comfort zone. Seperti dulu semua peserta wajib belajar semua jenis kesenian, kami ingin yang latarnya seni rupa bisa belajar pertunjukam dan sebaliknya. Kolaborasi dalam SPT menjadi unsur penting.
SSD: Mbak Isti mungkin bisa menceritakan lebih jauh tentang SPT, baik pengalaman sebagai alumni SPT maupun kini sebagai koordinator program tersebut.
Tahun 2018 saya salah satu peserta SPT, terus mulai 2019 saya bekerja di bagian program PSBK termasuk SPT. Untuk SPT memang ada kriteria yang dicari, yaitu kita berusaha mencari seniman yang terbuka untuk berproses dan berkelompok. Desainnya adalah selama 10 bulan, sepuluh peserta SPT harus berproses bersama di sini. Waktu mempelajari sosok Pak Bagong dari pameran arsip (Pameran arsip “Ruang Waktu Bagong Kussudiardja” diselenggarakan pada September – November 2018 di PSBK—ed.) dan merefleksikan pengaruh pesantren pada padepokan, saya langsung nyambung karena saya juga anak pesantren. Jadi kayak ngalir dan bisa ngikut karena bisa paham apa yang ingin dicapai SPT. Nggak melulu soal skill dan capaiannya bukan soal karya. Yang digarisbawahi itu bagaimana sepuluh orang dapat berkolaborasi untuk mencapai titik kesepakatan bersama dalam waktu singkat. Karena selama sepuluh bulan itu, mereka harus membuat empat pertunjukan dan tiga pameran seni rupa bersama-sama. Jadi di luar presentasi publik juga ada praktik stage managerial, dan semua kebagian kerja di belakang panggung. Saya sendiri bertanya-tanya apa bedanya SPT dengan program residensi lain. Menurut saya capaiannya di sini ialah bagaimana aku dan teman-teman bersepuluh ini bisa mengatasi bentrok-bentrokkan ego dan sepakat untuk ngapain setelahnya. Jadi kolaborasi memang yang paling ditekankan.
Kalau membandingkan lagi proses di sini dengan di pesantren, santri dituntut untuk siap menghadapi siapapun, bukan di ranah pengetahuannya aja, tapi kemampuan menyikapi masyarakat luar. Itu yang saya dapatkan di sini selama sepuluh bulan. Jadi menurut saya capaian SPT bukan pameran atau pentas di mana, tapi refleksi pengabdianku sudah sejauh mana sampai detik ini? Saya nggak kenal langsung sosok Pak Bagong seperti apa, tapi ketika melihat bahwa beliau punya uang banyak dan kemudian digunakan untuk membikin padepokan ini—kalau di pesantren itu beliau tingkatnya sudah seperti kyai yang dedikasinya terhadap pendidikan sangat tinggi.
SSD: Seperti apa dinamika kelompok dalam proses sepuluh bulan SPT?
Yang aku dapatkan dari SPT adalah kepercayaan diri. Karena siapapun yang berada di lingkaran itu berhak memberi ide, mencipta dan memutuskan sesuatu. Yang berusaha dibangun di lingkaran itu adalah kesetaraan. Alamiah kalau ada yang lebih pinter atau berpengetahuan di dalam kelompok. Tapi dalam pengalaman saya waktu berproses sebagai peserta SPT, orang yang lebih pinter belum tentu pendapatnya yang akan dipakai, karena memang yang lain nggak bisa menjangkau yang dia maksud. Akhirnya yang lebih pinter itu juga bisa merelakan dan menghargai proses bersama.
Dari pengalaman proses ini, aku merefleksikan juga cerita Pak Butet yang waktu itu sebagai anak pernah pengen ngritik bapaknya habis-habisan karena pilihan penari Pak Bagong waktu pentas di TIM. Pak Bagong waktu itu bisa saja memilih penari yang hebat-hebat semua, tapi dia nggak ambil yang jago-jago atau pinter-pinter saja karena beliau merasa harus memberikan kesempatan bagi siapapun yang ingin menari. Ini dulu mau dikritik Pak Butet, tapi belakangan baru disadari makna di balik pilihan Pak Bagong waktu itu.
Nah, pemahaman ini saya gunakan ketika mendampingi proses SPT sekarang. Saya lebih berfungsi memantik kalau diskusinya terlalu diam, atau lebih peka melihat kalau ada yang sungkan, takut, atau ada satu orang yang terlalu mendominasi. Jalannya diskusi dan produksi pengetahuannya nggak ada struktur yang hierarkis. Jadi nyantrik di sini ada bedanya juga dengan nyantrik di pesantren. Kalau di pesantren kan biasanya modelnya satu arah, kecuali kalau kyai-nya up to date dan terbuka ya. Tapi di sisi lain juga dari murid atau santrinya sendiri ada bawaan didikan sekolah yang modelnya satu arah. Sehingga kalau ada teman, meskipun sebaya atau lebih tua sedikit, dan kelihatan lebih pintar, omongannya bisa langsung ditaati gitu lho. Yang sering dilupakan teman-teman SPT sebagai pembelajar itu adalah mencari logic yang dihadirkan oleh siapapun, entah yang lebih tua atau yang lebih berpengetahuan. Jadi kesepakatan bukan muncul karena rasa takut atau sungkan, melainkan karena bisa memahami suatu logic.
Selain itu juga soal keterbukaan. Di proses SPT, baik yang berasal dari pertunjukan atau pun seni rupa harus sama-sama mengalami proses dua-duanya, pertunjukan dan pameran. Ada peserta yang maunya dimaklumi ketika membuat karya yang bukan dari latar belakannya. Padahal yang utama itu keterbukaan ini ialah untuk menganggap bahwa ini bukan tugas atau capaian program, melainkan kesempatan untuk menantang diri sendiri dan mengeksplorasi apa yang terjadi kalau praktiknya sebagai seniman individu dikolaborasikan dengan orang lain dari disiplin yang berbeda.
***