#ULASBUKU : SEKOLAH SALAH DIDIK UJI COBA 1 (Review Rapor SSD: UJI COBA 1)

-Buku ini saya dapat dari teman yang merupakan salah satu peserta Sekolah Salah Didik. Sebagai balas budi, saya pun merasa bertanggungjawab untuk menghadirkan ulasan terhadap buku tersebut. (Bacanya 2 bulan, nulisnya 1bulan).-

Kesan pertama membaca buku Sekolah Salah Didik Uji Coba 1 mungkin juga dirasakan oleh pembaca kisah La Terre de La Lune milik Jules Verne ratusan tahun lampau. Membayangkan sesuatu yang diluar sistem dan yang non-aktual memang membuat otak berpikir keras, sepertinya sangat sulit untuk menjejaki dataran kebenaran yang selama ini kita pijak, alam pikiran menjadi nol gravitasi, karena kita telah menemukan fakta-fakta kebenaran lain yang baru kita ketahui.
Berangkat dari eksperimen tentang pendidikan estetis, buku Sekolah Salah Didik Uji Coba 1 mencoba membentangkan hasil-hasil dari eksperimen yang setahun digeluti oleh peserta SSD. Seperti yang sudah disebutkan didalam buku, sulit untuk tidak menyebut bahwa ini adalah report para peserta didik SSD. Namun pelaporan bukan bersifat hirarkis alasekolah seperti yang dilakukan guru ke murid, melainkan hasil pelajaran dilaporkan oleh pesertanya sendiri dengan gaya masing-masing.

Para peserta menulis hasil eksperimen mereka yang telah menggunakan 4 metode pedagogik dasar: 1.) Turba, atau Turun Ke Bawah, sebuah cara yang dilakukan salah satu partai di Indonesia zaman pasca Kemerdekaan untuk mengetahui keadaan rakyat yang sebenar-benarnya pada zaman itu. Prinsipnya adalah 3 Sama; Sama kerja, sama makan, sama tidur.  2.) Metode ‘Ignorance Master’ Jacotot, memposisikan guru dan murid untuk sama-sama tidak tahu dan sama-sama belajar. 3.) Metode Nyantrik, metode umum yang dijalankan dalam praktik seni tingkat lokal untuk belajar dari para empu. 4.) Metode Taman Siswa, membayangkan sekolah adalah sebuah keluarga dimana siswa adalah anak dan guru berperan sebagai orangtuanya.
 Namun dalam buku ini, prinsip 1 dan 2 lah yang telah menjadi acuan utama untuk menjalani eksperimen. Maka tersebutlah buku ini dibagi kedalam 2 fase. Yaitu SSD Jacotot dan SSD Turba. Disertai pula dengan  “The Ignorant Schoolmaster’ dan ‘Petani Mengganjang Setan-setan desa’ sebagai rujukan eksperimen.
Dengan didasari pada kedua prinsip tersebut tentulah warna penulisan yang dihadirkan pun seragam dengan nilai-nilai yang ingin dijadikan dasar, cenderung menggunakan istilah-istilah yang bersifat anti-hirarkis, seperti siasat kolektif (asikk),  atau penggunaan kata kami dan kita yang jamak ditemukan (ini sih biasa aje ye). Pun kita juga bisa menemukan gaya penulisan yang paradoks, yang walau ditulis dengan sangat realistis dan faktual namun kalimat yang dikonstruksi secara pribadi malah justru melahirkan sebuah kesan subjektif. Hal ini justru membuatnya menjadi faktor-faktor yang justru menggiring pembaca kepada suatu kesimpulan bahwa, “Hei, ini bukan rapor anak sekolahan!”

Saya membayangkan nanti bila buku SSD untuk fase 3 & 4 sudah terbit, semestinya juga akan memberi warna penulisan yang lain pula, karena diberangkatkan dari metode lain dan perspektif lain, yaitu Nyantrik dan Taman Siswa. 

Menariknya, ada banyak poin-poin filosofis yang mampu diangkat dari laporan hasil peserta salah didik ini. Saat kita membaca buku ini, kita diajak untuk melihat sisi abstraktis dari makna belajar dan pendidikan. Seiring lintas generasi, kedua hal ini memang sudah sangat dipersempit maknanya menjadi sebuah sistem bernama ‘Sekolah’. Hal itu pun membuat kata ‘terdidik’ dan ‘tidak terdidik’ menjelma kontras menjadi anak yang sekolah dan yang tidak sekolah, yang pada akhirnya melahirkan stigma bahwa bila anda mau anak anda menjadi ‘terdidik’, sekolahilah ia. Ini pun berhasil menenggelamkan ucapan-ucapan kontras ala Paulo Freire yang kurang lebih –agak lupa saya– berbunyi seperti, “Saya ingin belajar, makanya saya tidak sekolah”.
Apakah lembaga sekolah, yang selama ini menjadi motor pencetak ‘anak terdidik’, telah sepenuhnya berhasil terhadap semua murid-muridnya, dan benar-benar layak didaulat sebagai satu-satunya mesin pencetak ‘anak terdidik’? Apakah motif belajar telah sepenuhnya berubah menjadi proses mekanis untuk semata-mata memperoleh hasil? Apakah satu-satunya proses belajar hanya melalui jalur yang sebagaimana selama ini sekolah telah tawarkan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang seringkali akan mengemuka saat kita mencoba untuk membaca buku ini. Tentunya ini juga merupakan bahan refleksi saya sebagai seorang Guru TK.
Lain halnya dalam bentuk penulisan masing-masing peserta, cara mereka mengkomunikasikan kesimpulan yang mereka dapatkan sangat beragam, dengan pengalaman belajar yang berbeda, latar belakang yang melahirkan gaya penulisan yang berbeda pula, membuat kita benar-benar diharuskan untuk tidak mampu mengambil satu kesimpulan saja, namun kita harus mampu menyusuri tulisan mereka melalui pemikiran dan pesan yang benar-benar sesuai dengan yang ingin mereka sampaikan.
Ada yang dibentuk lewat informasi terinci perihal laporan eksperimen mereka, dengan memasukkan unsur-unsur bahan masakan, gambar arsitektur. Ada juga yang menitikberatkan kepada proses diskusi dan kesalahan yang dilakukan selama pertemuan di SSD. Adapun yang membungkus hasil laporannya menjadi sebuah karya puisi. Keragaman bentuk hasil laporan ini, membuat kita benar-benar tidak perlu menggarisluruskan setiap artikel untuk menarik sebuah kesimpulan. Karena senyatanya mereka memang sedang menghadirkan sebuah kesimpulan kesimpulan yang non-linear.
Namun secara keseluruhan, saya melihat Sekolah Salah Didik Uji Coba 1 bukan sedang memperkarakan tentang hal-hal non-populer namun hanya menyentuh batas permukaan saja seperti, apakah nilai itu penting, atau haruskah kita sekolah, atau mengapa aku benci sekolah. Tetapi lebih jauh lagi kedalam hal yang lebih esensial, mengajak kita memperkarakan tentang pertanyaan seperti apakah dan sejauh manakah selayaknya ‘belajar’ bisa dikatakan sebagai sebuah ‘proses’.
Inilah yang membuat alam pikiran kita menjadi nol gravitasi, dan kembali saya ingatkan, jangan berusaha menangkap jawabannya berdasarkan logika berpikir kita, karena seperti dasar mengapa buku hasil eksperimen ini diciptakan –untuk menjadi rapor yang tanpa nilai–, sepertinya pertanyaan tersebut pun dihadirkan kedalam eksperimen mereka untuk menjaring pertanyaan-pertanyaan baru lainnya sebanyak-banyaknya, dan bukan merupakan pertanyaan yang diciptakan untuk memiliki jawaban.

Ulasan di atas dimuat pada tanggal 23 Agustus 2019 oleh JONDE KONDE : BINGKAI RANGKAI BAHASA, dilansir pada laman: http://jondeyuhu.blogspot.com/2019/08/ulasbuku-sekolah-salah-didik-uji-coba-1.html