Sama-sama Me-“Rasa”: Antara Etnografi Afektif dan/atau Nyantrik
Oleh Gusti Nur Asla Shabia
Tak tebersit satu keinginan, atau kesadaran, untuk melakukan nyantrik ketika saya pergi riset ke Freiburg—kota kecil di Jerman Selatan—pada Desember tahun lalu selama tiga bulan. Dari pembicaraan-pembicaraan di kelas Sekolah Salah Didik sebelum saya berangkat, saya memahami nyantrik sebagai sebuah metode belajar yang tidak saintifik. Misalnya, salah satu cara untuk memeroleh “pengetahuan” dalam nyantrik ialah dengan meniti sebuah laku. “Laku” yang dimaksud adalah praktik-praktik asketis seperti berpuasa, meditasi, terjaga sepanjang malam, atau bertapa (Antariksa, 2016)—sebuah cara yang tidak melibatkan usaha-usaha rasionalisasi atau kodifikasi. Proses laku, Antariksa (2016) menuturkan, melibatkan hubungan guru dan murid di mana guru akan membimbing muridnya di dalam sebuah perjalanan mistis, dan ada pemberian pengetahuan-pengetahuan dari guru kepada muridnya. Lantas, dengan meniti laku, si murid pun kelak akan mendapatkan suatu rasa.
Selama ini juga, saya memahami “nyantrik” sebagai istilah yang lekat dengan mistik Timur. Seperti kata Paul Stange (2007: 4-5) perihal “ngelmu” dalam ilmu kebatinan Jawa: “… merujuk pada “gnosis”, pada bentuk mistik atau spiritual dari ilmu yang tidak hanya bersifat intelektual, tapi juga intuitif. Dengan demikian yang “tahu” bukan saja pikiran, melainkan juga keseluruhan tubuh dan segenap organ di dalamnya yang “Tahu”.
Pikir saya, ketika berangkat ke benua yang konon katanya dihuni orang-orang Barat yang relatif individualis, “dingin”, dan “rasional”, saya berasumsi: bukankah nyantrik kemungkinan besar tak relevan? Keberangkatan saya ke sana sebagai seorang mahasiswa antropologi adalah untuk menjadi seorang “periset lapangan”. Dengan titel ini, tujuan ultima saya ialah untuk memeroleh “data ilmiah” yang kelak dapat saya olah untuk skripsi.[1] Saya berpikir, sesuatu yang seabstrak dan semistik “laku” dan “rasa” bukanlah sebuah data. Berbekal metode riset etnografi, yang saya cari di “lapangan penelitian” adalah informan, bukan guru. Meskipun tujuan saya tetaplah menggali pengetahuan mereka, belajar dari mereka, dan meninggikan mereka, saya ‘kan tidak sedang bertujuan “berguru” kepada mereka?
Ekstremisitas Ruang, Budaya, dan “Keheningan”
Sesampainya di Freiburg, saya mengalami apa yang sering disebut orang-orang sebagai culture shock. Musim dingin membuat saya harus mengenakan baju berlapis dan beraktivitas dalam suhu minus. Malam datang lebih cepat, pagi datang lebih lambat. Saya merasa orang-orang urban di Jerman tidak suka senyum-sapa-salam di jalanan, sehingga saya yang demen mengumbar senyum malahan disangka orang aneh dan tak jarang ditatap dengan sinis. Belum lagi, kendala bahasa. Departemen saya—Antropologi Budaya—agak nekat menceburkan mahasiswanya ke dalam sebuah riset di kota non-English speaking tanpa memberikan pelatihan bahasa Jerman. Sehingga, saya acapkali merasa “hening” dalam sebuah ruang. Ada orang-orang, suara, dan percakapan, tapi tak ada kata yang saya pahami. Intinya, saya merasa teralienasi.
Sudah begitu, tempat riset saya juga punya tantangan sendiri. Pertama, lokasi riset saya sedikit jauh dari kota, dekat dataran tinggi, sehingga temperaturnya sangat dingin. Kedua, saya riset di Community Supported Agriculture (Bahasa Jerman = Solidarische Landwirtschaft atau disingkat SOLAWI) yang punya kesulitan tersendiri. SOLAWI terdiri dari anggota-anggota yang berkeinginan menciptakan proses pertanian di mana mereka terlibat aktif; sehingga mereka menanggung biaya pertanian bersama, risiko panen bersama, dan berbagi tanggung jawab-tanggung jawab untuk membantu proses panen dan distribusi sayur.
Bayangkan memotong sayur mayur dalam suhu di bawah lima derajat, belum lagi kalau turun hujan. Permasalahan saya bukan saja tangan saya sering beku dan gigilan menjadi teman akrab, tapi proses pencarian data (menurut saya) jadi tak efektif. Informan saya yang petani biasanya sudah sibuk mengurusi pertanian ketika berjibaku di kebun. Sementara, anggota SOLAWI biasanya segera cabut setelah selesai bertani karena tak tahan berlama-lama di luar ruangan. Kalau sedang berkegiatan, saya tak enak bertanya dan “menggali” jawaban informan karena kerja mereka berat; menghitung sayur, membersihkan bagian sayur yang busuk, dan mengangkut keranjang-keranjang sayur yang tak ringan.
Sudahlah merasa teralienasi, saya mengalami inferiority complex, yakni memandang informan di tempat riset secara khusus, dan orang Jerman secara umum sebagai orang-orang Global North yang lebih “tinggi” dari saya. Saya merasa misplaced, tak cocok berada di ruang yang perbedaannya ternyata ekstrem, secara kultural maupun natural.
Saya Jadi Murid, Informan Jadi Guru, Lokasi Jadi Padepokan
Di tengah-tengah rasa misplaced dan kondisi yang saya anggap “ekstrem” ini, saya mulai memaknai perubahan cara bertahan hidup dan riset yang kelak akan saya pahami sebagai metode semi-nyantrik[2].
Pertama, saya memandang proses sehari-hari berkutat dengan temperatur dan orang-orang yang “dingin” sebagai proses “naik tingkat”—begitu istilah saya waktu itu. Saya mulai menulis catatan lapangan (fieldnotes) yang tidak hanya berisikan data empirik atas apa yang saya amati, tapi juga apa yang saya rasakan. Saya mendokumentasikan perasaan dan melakukan kontemplasi atasnya, saya marah; saya kesal; saya ragu; saya capek. Saya juga mulai mendokumentasikan emosi dan gestur informan yang kira-kira bisa menggambarkan satu emosi secara umum (karena saya tidak bisa memahami apa yang mereka katakan)—hal yang kelak saya pahami sebagai “affective dynamics of fieldwork” (Thajib, 2008).
Kedua, sebuah peristiwa di lapangan bersama informan membuat saya tersadar bahwa komunitas tempat saya meneliti ini merupakan sebuah ruang yang memang mengajarkan proses melambatkan rantai perilaku-perilaku mengonsumsi. Dari mulai proses produksi (bertani secara alami; yang lebih ribet dan membutuhkan proses yang panjang); distribusi (sayur diantar dengan sepeda dan harus diambil sendiri, alih-alih diantar hingga muka rumah); konsumsi (makan sesuai musim dan harus dihabiskan); hingga praktik-praktik asketis seperti bermeditasi mendoakan lahan dan merenungi keberadaan hewan-hewan di kebun. Secara analitik, dalam skripsi saya, lokasi riset ini saya sebut sebagai “Tactile Space”[3] Merujuk pemaparanseorang penulis bernama Carolan (2010), “Tactile Space” merupakan ruang yang menghadirkan pengetahuan-pengetahuan yang tak bisa diperoleh dengan keterwakilan, melainkan harus dengan kehadiran individu yang mengalami, karena pengetahuan tersebut diperoleh dengan cara yang menubuh (sehingga ada unsur-unsur indrawi: melihat, meraba, mendengar, mencium) dan berakar dalam lingkungan sosial. Hal ini saya lihat dalam SOLAWI yang menuntut partisipasi aktif anggota untuk merasakan keseluruha proses pangan dan mengetahui dari mana sayurannya berasal, bentuk aslinya seperti apa, dari tangan siapa ia ditanam dan dirawat. Namun, setelah saya renungi, Tactile Space ini juga bisa diibaratkan sebagai “padepokan”[4] dalam istilah a la Nusantara: ada lokasi khusus yang “menyepi” dari riuh keramaian, ada aktivitas yang harus dijalani dan bersifat indrawi. Bahkan ada guru: si petani-petani SOLAWI.
Perubahan cara melihat lokasi riset ini tidak hanya membuat saya mendapatkan pisau untuk menganalisis data-data saya. Lebih dari itu, jika saya refleksikan sekarang, waktu itu saya memeroleh perubahan positionality saya terhadap informan-informan di tempat riset, juga perubahan-perubahan cara memperoleh pengetahuan (atau data). Saya mulai mengonstruksi diri sebagai murid yang tengah meniti sebuah laku untuk memperoleh “rasa”—yang ternyata bisa mengantar saya pada diskusi-diskusi yang lebih kaya. Saya mulai menghayati dan merefleksikan kesulitan yang ada di lapangan, baik di dalam lokasi riset maupun di luar lokasi riset. Di dalam lokasi riset, saya mulai belajar merasakan tangan yang beku kedinginan, menerima hasil panen yang buruk, melihat keterhubungan hewan dan tumbuhan, dan saya jadi tahu kerja pertanian yang berat dan dipengaruhi banyak variabel alam. Saya belajar untuk lebih niat mengolah sayuran hasil panen SOLAWI yang tidak pernah saya lihat sebelumnya—apalagi saya ketahui cara memasaknya—yang ternyata memakan waktu pengolahan lebih lama dan seringkali membuat saya tidak keluar apartemen. Akan tetapi berkat pelambatan ini, saya jadi bisa mengobrol lebih luang dengan teman satu apartemensaya, ditambah lagi saya juga menjadi lebih irit dan lebih sehat.
Yang terpenting, meniti laku yang rutin saya lakukan setiap minggunya membuat saya bisa bertanya lebih personal dan mendalam terhadap informan-informan saya: kamu pernah merasa lelah, nggak, sebagai petani? Kenapa, sih, kamu betah mengonsumsi sayur-sayur musiman[5] yang rasanya tidak umum? Berangkat dari perasaan, saya akhirnya bisa paham bahwa laku yang dilakukan SOLAWI adalah untuk menangkal ritme pangan industrial yang serba cepat, efisien, sempurna, namun berefek menimbulkan ketidaksejahteraan bagi banyak orang.
Menjadi Etnografer yang Nyantrik
Pemikiran bahwa apa yang saya lakukan di tempat riset ini bisa disebut sebagai nyantrik muncul belakangan, yakni ketika saya sudah kembali ke Yogyakarta, ke kelas Sekolah Salah Didik yang terus memperluas definisi-definisi tentang nyantrik. Memang saya pahami, meneliti dengan metode penelitian etnografi punya titik tolak yang serupa dengan nyantrik, yaitu ada metode terjun sebagai “diri” ke lapangan untuk ikut “merasakan”. Bahasa keren di etnografi-nya: “observasi-partisipatif”. Lalu, ada proses engaged alias kedalaman relasi interpersonal antara informan yang tidak hanya jadi informan, sehingga keterlibatan peneliti-tineliti[6] diizinkan melebihi relasi fungsional.
Saya baru saja ngeuh bahwa apa yang saya jalani ternyata bisa disebut semi-nyantrik karena saya telah melakukan sebuah laku; pergi ke keterasingan dan keheningan secara ruang dan budaya, melakukan hal-hal tak nyaman yang rutin, bertani dalam titik beku, jalan kaki ke tempat distribusi, setengah mati mengonsumsi sayur hingga tandas. Kemudian saya memakai rasa yang saya petik dari meniti laku ini sebagai jalan untuk mengakses pengetahuan, hal yang kami bahas dalam sebuah diskusi Sekolah Salah Didik sebagai proses belajar dengan memakai affect, emosi, dan perasaan, yang sebenarnya masih bisa mengantar peneliti untuk memperoleh data yang relevan dan bahkan saintifik (Thajib, 2019). Membuat pantulan antara metode etnografi dengan praktik nyantrik, saya bisa melihat bahwa saya juga “memilih” segelintir orang untuk jadi “guru” saya di sana—meskipun waktu itu saya menyebut mereka sebagai “informan”. Pemilihan “guru” saya adalah mereka yang familiar dengan laku konsumsi kritis di dalam SOLAWI, sehingga sudah “matang” dalam proses belajarnya, dan mampu membimbing saya untuk memahami laku konsumsi kritis yang sudah saya tetapkan sebagai tujuan saya belajar sejak awal.
Perihal apakah metode ethnography with affect ini bisa disebut nyantrik, saya pikir masih akan didiskusikan dalam kelas-kelas Sekolah Salah Didik berikutnya. Perihal diskusi ini, ada beberapa poin menarik yang saya garisbawahi (dan masih saya pertanyakan). Pertama, apakah sebuah proses bisa disebut sebagai nyantrik, ketika si murid baru mendapatkan pengetahuan apa yang ia lakukan adalah nyantrik setelah dia melakukan nyantrik itu dengan tak sadar? Karena saya jadi memikirkan diri saya yang terjun sebagai periset etnografi dan pada akhirnya turut menanamkan metode nyantrik. Jika jawabannya ya, berarti ada banyak segmen “belajar” dalam kehidupan kita bisa jadi disebut nyantrik. Kedua, dalam proses nyantrik yang saya lakukan, guru yang memberikan saya pengetahuan-pengetahuan tentang konsumsi kritis bukan hanya telah mengajarkan saya tentang bagaimana menjadi konsumen yang sadar akan makanannya—hal yang masih lekang dalam diri saya hingga sekarang—tetapi telah mengajarkan saya juga menjadi periset antropologi yang lebih andal, meskipun pembelajaran terakhir ini saya sendiri yang memaknai. Bukankah kalau begitu, “guru” yang memiliki keahlian terhadap suatu hal, pada akhirnya bukan hanya bisa mengajarkan keahliann ya, tapi turut bisa memberikan pembelajaran yang sama sekali tak terkait dengan keahliannya, yang muncul karena dimaknai oleh muridnya?
[1] Tugas akhir ini saya beri judul “Mengonsumsi Melawan Arus: Praktik dan Signifikansi Solidaritas dalam Dua Komunitas Pertanian Solidarische Landwirtschaft di Freiburg, Jerman”.
[2] Saya katakan “semi” karena tulisan ini masih mengharapkan diskusi akan definisi nyantrik dan relevansinya dengan pengalaman saya.
[3] Tactile, dalam bahasa Indonesia secara literal dapat diterjemahkan sebagai “sesuatu yang dapat diraba”. Namun, pemaknaan Carolan (2010) sendiri diperluas ke dimensi ketubuhan dan keterikatan (terhadap suatu jaringan sosial).
[4] Pedepokan (lebih populer ditulis “padepokan”) dimaknai KBBI sebagai “tempat persemadian (pengasingan diri) raja-raja di Jawa pada masa yang lalu; sanggar seni tari”. Dalam sebuah opini yang ditulis oleh Mawardi (2016), dalam padepokan terdapat ritual, pimpinan, dan pengikut. Dalam hasil obrolan partisipan SSD dengan direktur Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Jeannie Park, padepokan dimaknai sebagai tempat khusus di mana terdapat murid (dalam hal ini para santri) yang hidup bersama, memelihara tempat bersama, mempelajari nilai-nilai tertentu dengan lebih mendalam, dan terdapat guru, walau guru bukan dalam arti guru akademis. Lihat http://sekolah.kunci.or.id/language/id/nyantrik-psbk/
[5] Yang dimaksud dengan sayur musiman adalah sayur yang hanya tumbuh di musim itu saja. Prinsip SOLAWI di Freiburg adalah prinsip sayur musiman, sehingga pada musim dingin, mereka makan jenis sayuran salad dan umbi-umbian yang tidak umum (seperti misalnya pastinake dan goldball). Tomat, paprika, dan kentang yang merupakan sayuran umum tapi hanya tumbuh di musim panas, tidak didistribusikan dalam musim ini.
[6] Subyek yang diteliti. Menyitir istilah dari Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2009. Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama dalam Jurnal Penelitian Walisongo Vol XVII nomor 2. Hml 1
REFERENSI
Antariksa. (2016). Nyantrik as Commoning. Dalam B. Virginie, et al. (peny.), A reader (Qalqalah) (hlm. 9-18). Paris: Bétonsalon – Center for art and research.
Carolan, M. S. (2007). Introducing the concept of tactile space: Creating lastingsocial and environmental commitments. Geoforum, 38, 1264-1275
Stange, P. (2007). Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Bantul: LKiS
Thajib, T. F. (2019). Inhabiting Difference: The Affective Lives of Indonesian Muslim Queers. Desertasi dalam Departemen Ilmu Sosial dan Politik, Freie Universität Berlin.