Bermain Rasa dan Menjadi Pasir melalui Nyantrik

Wawancara dengan Tini Handonowari

9 Mei 2019

Percakapan berikut merupakan wawancara lanjutan dari wawancara sebelumnya bersama Jeannie Park, direktur eksekutif Yayasan Bagong Kussudiardja (YBK) dan Isti Fadah Nur Rohmah, seniman teater yang kini bekerja sebagai koordinator program Seniman Pasca Terampil (SPT) di PSBK (Padepokan Seni Bagong Kussudiarja). Wawancara berikut bertujuan untuk menggali pengalaman belajar Nyantrik yang dialami oleh Tini Handonowari sebagai murid generasi kedua yang diajar langsung oleh Bagong Kussudiarja. Pertanyaan-pertanyaan di dalam wawancara berikut digali oleh beberapa partisipan Sekolah Salah Didik diantaranya: Brigitta, Fiky, Plapti, Ulum, Restu, Zita, Maqin dan Ana di warung Meno Meni, terletak tepat di seberang halaman PSBK pada 9 Mei 2019.

Paparan wawancara bertumpu pada sebuah kata kunci yakni laku yang dimaknai sebagai sebuah usaha berulang dalam memaknai ilmu melalui rasa yang ditekuni melalui praktik Nyantrik. Dalam ingatan Ibu Tini yang masih segar, laku tidak terlepas dari ikhtiar untuk mengolah rasa yang sangat pribadi sekaligus terhubung erat dengan pengalamannya hidup dan tinggal bersama murid-murid PSBK lainnya. Di akhir percakapan, gagasan tentang rasa kemudian dihadapkan dengan ingatannya akan batas-batas keberhasilannya melalui metode Nyantrik.

Melalui nyantrik pula, Tini Handowonari telah meraih capaian-capaian dalam kegiatan berkeseniannya. Selain aktif menjadi pengajar seni tari, buah karya tarinya seringkali dipentaskan dalam misi-misi kebudayaan, baik pada tingkat nasional dan mancanegara. Tini kerap diundang untuk menampilkan karyanya di festival, pawai atau perhelatan kebudayaan lainnya oleh jawatan pemerintahan dan instansi tertentu. Tidak hanya menonjolkan ciri khas kesenian tari Yogyakarta, karya Tini melingkupi keahlian mumpuni yang melekat pada seni tari seperti koreografi, pembuatan kostum dan teknik merias.

SSD: Dengan siapa saja Bu Tini pertama kali mengikuti nyantrik di PSBK?

Tini Handonowari (TH): Pertama kali saya masuk di Padepokan Seni Bagong itu tahun 1979. Jadi saya mulai jadi mentriknya, kalau sebutan ‘Mentrik’ itu siswa perempuan, kalau sebutan ‘Cantrik’ itu siswa laki-laki. Jadi waktu itu saya datang ke sini dari nol. Memang saat itu di sini tidak ada syarat bahwa harus lulus dari mana. Dari nol, saya juga masih blank namanya nari itu apa, terus nanti untuk apa, seni itu apa, itu masih gelap, masih tidak tahu. Lama, di sini kan sistem semesternya tiga bulan ya. Setiap tiga bulan itu, kalau dia merasa cukup, ya lulus terus ganti angkatan berikutnya. Kebetulan waktu itu saya angkatan dua. Jadi angkatan dua, masuk, ada pelajarannya ya seni tari, seni musik, teater, ada teaternya itu tradisional juga, modern juga, batik, ada pokoknya hubungannya dengan senilah. Waktu itu tapi saya khususnya tari ya. Belajar sama kakak pembina, kalau di sini pelatihnya itu disebut kakak pembina. Dilatih dari pelajarannya jam 5 pagi itu harus olah tubuh. Mempelajari olah tubuh, nanti setelah itu mungkin mengenal alam. Jadi kami diajak jalan bersama pelatihnya ke gunung, masuk ke sungai sana, tanpa bersuara, atau tanpa berbicara. Jadi hanya rasa, main rasa. Perjalanannya seperti itu, main rasa, disuruh merasakan. Lalu setelah selesai satu jam, kurang lebih, kita disuruh mentransfer dengan gerakan hasil kita jalan-jalan tadi. Bagaimana rasanya orang kena duri, bagaimana rasa turun, rasa naik, rasa di dalam air, pokoknya apa yang siswa alami tadi itu disuruh transfer dengan gerakan. 

Setelah itu, pelajaran di sini rutinitasnya selesai, lalu kita masing-masing yang disebut cantrik-mentrik tadi lalu berkegiatan pagi, sarapan di asrama, karena kita tinggal di asrama. Selepas itu jam delapan baru kita berlatih, apa jadwal hari ini. Pendoponya ya ada yang di sana, dulu kan nggak seperti ini, dik. Jadi masih bambu, rapaknya itu dari daun-daun tebu. Seperti itu, karena dulu dikunjungi pak Harto waktu masih jadi presiden dan Mahathir Mohamad Perdana Menteri Malaysia. Lalu beton-beton semua dibangun. Ini dulu dari bambu semua, jadi masih sederhana. Waktu itu angkatan pertama juga cerita pernah pakai petromak. Kalau angkatan saya sudah pakai listrik, tapi masih pakai bambu. Setelah kita berlatih, nanti ada istirahat juga, terus nanti jam berikutnya, kemudian jam satu istirahat sampai jam 4 sore. Jam 4 sore kita mulai lagi aktivitasnya, kalau nggak tari ya gamelan, ya teater. Selepas itu selesai, ada istirahat lagi, lalu malamnya jam 7 atau setengah delapan itu Cantrik-Mentrik disuruh, ada pelajaran namanya juga olah rasa, kami disuruh mengamen di Malioboro sama di jalan Solo. Jadi disuruh bagaimana kalau datang ke toko itu nggak dikasih uang tapi diusir, semacam itu, itu untuk main rasa aja. Jadi ngamennya itu untuk latihan rasa. Bagaimana nanti penolakan orang itu yang kamu datangi ditolak, semacam itu. Itu sering, sebagai Cantrik-Mentrik itu seringkali saya lalui pelajaran-pelajaran yang diterapkan di padepokan. 

Lalu bulan pertama, bulan kedua berlangsung kita sudah dikasih bekal-bekal terus membuat karya. Karya tari tunggal. Nah, itu dari musiknya, dari kostumnya, semua kita create sendiri, kita tata sendiri, kita susun, lalu diuji, dinilai oleh kakak-kakak pembina tadi. Ada pentas di sana, perjalanan nanti ada bulan kedua, ketiga, terus ada membuat karya tari kelompok dewasa, lalu akhir bulan membuat karya tari anak, itu harus dilalui Cantrik-Mentrik tadi untuk lulus dia menyelesaikan semester tadi itu. Jadi ada tiga karya baru. Jadi perjalanan Cantrik-Mentrik pelajaran yang diterapkan di padepokan seni itu tadi. 

SSD: Adakah pengalaman tinggal bersama yang masih diingat dan penting bagi praktik belajar tersebut? Karena ia berbeda dengan model sekolah yang tidak melibatkan tinggal bersama. Sampai jam berapa proses bersama yang dimulai dari jam 5 pagi?

TH:  Jam 9, setengah sepuluh malam. Karena harus nonton. Kalau nggak ngamen tadi itu, kami menonton di pagelaran di Ramayana Prambanan, atau pertunjukan di taman budaya, atau pentas di mana-mana kita disuruh menimba ilmu di luar padepokan. Disuruh cari pengalaman di luar. Jadi sampai sekitar jam setengah 10 atau jam 10 pasti. Kalau yang di asrama gini, ya kalau yang namanya asrama kan pasti seperti itu ya suasananya ya. Dan usianya lain, kalau yang di sekolah-sekolah gitu kan mungkin anak SMA kost di sana, sama ya. Kalau yang di Cantrik-Mentrik ini lain. Ada yang sudah ibu rumah tangga, ada yang masih muda, campur. Jadi ya kita di dalam itu ada yang ngemong sebagai ibu, tadi yang sudah dituakan, terus ada yang masih istilahnya muda atau anak-anak seperti saya, atau ada yang seperti dari daerah itu. Pokoknya lain usia, satu tempat satu asrama yang harus dilalui terus-menerus. Makan, nanti ada istilahnya kalau sebelum sarapan itu ada kentongan dari bambu. Itu jam makan. Nanti kalau sudah makan selesai ada jam pelajaran, itu ditandai dengam bendhe, dong, dong, dong, itu jam pelajaran. Semua berkumpul di pendopo tengah. Nanti selesai pelajaran itu bendhe, kalau mau jam makan itu kentongan. 

SSD: Tapi kalau misalnya di bagian olah rasa itu, Bu Tini sendiri pernah merasa ada yang, pada awalnya merasa “Ini kok aneh banget ya, misalnya disuruh pergi ke sungai trus nggak boleh ngomong”, atau ada laku-laku lain nggak sih yang Bu Tini ingat dan perasaannya pada waktu itu, sekaligus pelajarannya dari berbagai macam olah rasa itu.

TH: Ya itu yang kita rasakan, kan nggak boleh ngomong yang ada hanya disuruh merasakan. Jalan, kena duri. Jalan, kena batu kerikil, masuk sungai, basah, padahal kalau cewek ada yang baru bulanan ya, itu kan, ya sudah rasanya kaya gitu ya ya berkecamuk ya nggak boleh diungkapkan. “Wah, aku nggak mau”, nggak boleh kan harus dijalani tho. Diam dengan rasa tadi, nah begitu tadi sudah selesai, pelatihnya itu tadi, kakak pembina itu ngajak mana lalu lintasnya itu arah mana, dia jalan ke mana, ke mana, selesai di pendopo. Sesudah disuruh duduk, disuruh merenungkan tadi selama perjalanan, sehabis itu terus disuruh istirahat sebentar, disetelkan musik sebagai ilustrasi membangun suasana lalu disuruh menggerakkan dengan tubuh kita. Ya udah kita gerakkan. Oh, tadi kena duri misalnya. Oh, tadi jalannya naik itu beratnya kaya gitu. Oh, kalau turun tuh gini. Ya sudah kita tuang dengan gerakan saja. Mau apa, mau apa satu-satu, atau per saf. Begitu, jadi kita harus pandai-pandai mengungkap dengan tubuh kita hasil perjalanan tadi. Nanti kalau satu-satu baru kita tertantang di sana. Terus kita melihat satu sama lain, “rasane keno kae (rasanya kok dapat tadi)”. Cuma ini aja, “Ah aku tadi cuma jalan naik, jalan turun”, kelihatan itu kita saling membaca, itu kelihatan, bahwa itu pakai rasa atau nggak. Sesama siswa tadi itu, kadang kan diuji satu-satu.

SSD: Apakah olah rasa tersebut dievaluasi, Bu? Sama kakak pembinanya atau sama semuanya?

TH: Ya, kadang ditegur langsung, kan. “Jangan gurau kamu!” Kayak begitu. Kalau langsung Bapak itu lebih keras. Tapi kerasnya ya ada motivasi untuk “nyambuk”, ya. Nyambuk supaya kamu itu tahu. Kerasnya itu tegas. Kalau udah pak Bagong yang di depan, kalau udah cantrik-mentriknya udah dihadapin pak Bagong itu udah, semua udah (menunduk), kadang kalau mau ngomong (berbisik). Udah itu isyarat kalau gitu mesti disuruh diam gitu. Kalau pak Bagong sedang marah yang lain gak bisa ngomong, mungkin cuma bisik-bisik.

SSD: Caranya bagaimana, Bu? Mengendapkan itu? Itu mungkin mirip pertanyaan saya, apa ibu menulis, apa ngomong di hati, atau? 

TH: Nggak. Kalau saya itu nggak pernah apa itu tak tulis, tak tuang ditulis itu kok nggak bisa, ya. Jadi kebiasaan dari rasa terus ke tubuh, karena tari ya. Menurut saya itu tari nggak harus ditulis. Karena prakteknya itu ya dengan tubuh kita ini. Jadi perenungan itu tadi endapan itu, endapan rasa, diendap, terus kita tuang lagi dengan gerak. Jadi direnungkan atau diresapinya itu semacam itu.

SSD: Kalau prosesnya yang lamanya itu, apakah pengulangan terus-menerus atau apakah misalnya olah rasa itu waktu pergi ke mana, karena kalau aku ke pantai aku memperhatikan pasir, nanti tubuhku bisa, apa ada nggak yang seperti itu, Bu? Kode-kodenya.

TH: Selain proses, selain pengulangan terus, proses, juga dari niat dulu ya. Aku memperdalam ini nggak to? Atau cuma hanya ingin tahu aja. “Kalau ingin memperdalam, penasaran to aku sama gerak ini. Kok aku ra iso-iso, to?” Lha, itu, setelah ada niatan itu baru dicari, dicari, ketemu. Bener, dulu itu yang namanya rasa itu tadi, ya, kalau Jawa, ya. Kalau Jawa itu memang sulit karena tidak berwarna ya, tidak hijau atau merah. Guru saya atau pelatih saya, kok bisa kaya gini itu piye, to? kaya gitu itu piye, to? Karena itu rasa. Bukan warnanya hitam, ini warnanya merah, itu kan harus dicari terus. Begitu sudah ketemu, “Oh, ngene to“. Itu rasane wis ‘tek’, itu toh! Ini to rasanya. Jadi yang pelatih atau penari-penari kok bisa badannya kok gitu, itu, kok enak to dilihat, kok sedep to? Kok enak banget to dilihat? Nah, gitu lho. Itu kan nggak warna merah atau hijau. Dari sini (rasa) itu. Makanya begitu aku udah kecekel (mendapatkan rasa)Oh, rasa itu, ini to! Ya, itu tadi. Hijau apa kuning? Adanya di sini. Di hati. Iya, jadi waktu saya udah proses lama, sudah diberi kepercayaan ngelatih, semacam tadi itu yang saya temukan itu tak tuang ke murid-murid. Misalnya saya, Pak Bagong itu milih saya itu, “Koe nari o tari Punggawa“. Pak Bagong, nggak tahu, padahal pak Bagong tahu bahwa tarian tersebut adalah tari putra. “Koe nari Punggawa. Ngko dilatihke kae.” Pak Bagong, nggak tahu, punya krenteg (keinginan) yang saya itu disuruh nari itu. Terus anak itu yang misalnya badannya pas, mesti cocok nek nari ini, to. Saya yang disuruh masukke rasa itu. “Kudu sampek koyo koe (harus sampai seperti kamu)“. “Wah, lha yo angel banget (Wah, sulit sekali). Gregelnya itu disuruh, “lebokke rasamu kae, lebokke (masukkan rasamu, masukkan)”. Jadi Pak Bagong menemukan rasa, di saya, tapi karena itu tarian lanang (putra) disuruh mentransfer. Saya seperti itu, “Dah, kamu pas gini itu rasanya itu pendopo ini kamu bisa nggerakkan”. Kurang lebih seperti itu. Karena aku nggak bisa, “ini hijau lho warnanya, kuning lho”. Sampur kamu lempar, ‘set’ kamu cekel langsung, “ndrenng”, “ndrenng” (sambil memperagakan gerakan). “Ya, kui, kui coba, rasakke (Ya itu, itulah, rasakan)”.  Atau pas kaya gini tu, nah (sambil memperagakan gerakan). Ya, itu tadi kalau yang nggak itu, fisik bisa, ngene, ngene, ngene, ini fisik. Tapi kalau harus diisi rasa itu kan, ngene iki ono (begini itu ada (rasanya)). 

SSD: Selain cara menjelaskan dengan, apa tadi pasir, adakah cara lain membantu transfer ilmu dengan lebih mudah?

TH: Ada. Ngiting. Lama prosesnya. Kalau itu kan ada di ragam tari Jawa, ya. Tari klasik, kengser. Itu penggambaran dari pasir di laut tadi, pasir pantai itu, wedhi kengser, nama gerak tarinya, ragam gerak kaki itu. Terus ada lagi, kalau Jawa itu nggak bisa pacak gulu, yang kaya gini itu pakai bola bekel atau bola kasti atau barang berbentuk bulat lainnya dilatihkan, ditempelkan di dinding gitu. Nanti kami disuruh mengikuti, bola itu jangan sampai jatuh, disuruh (me)nekan. Ditekan di dinding. Nah, itu untuk melatih kendor-kendornya leher. Terus itu latihan lagi. Terus yang berlatih tradisi, harus latihan sledet kalau tari Bali. Ada yang disuruh melihat air terjun yang begitu ribu-ribu-ribu. Jadi mata itu disuruh melihat tetesan air terjun itu. Ini juga cerita ya, karena itu juga ada sejarah dan ada orang-orang tradisi dulu, guru-guru saya juga kalau cerita begitu. Mata itu (menggerak-gerakan mata) bisa gini. Itu biasanya untuk tari Bali. Lalu ketika terang bulan di laut kan gerakannya air kena pantulan bulan itu, kan cahaya itu banyak banget to. Kalau kita berada di kapal malam hari, seperti itu. Tapi kalau kita sekarang melakukan itu, itu kalau orang nggak tahu kan, “wong edan kae (itu orang gila)”. Tapi ada benernya. Kalau untuk anak-anak penari-penari yang sekarang, mungkin ya, ngopo pakai latihan itu, orang praktik langsung aja bisa. Benar, saya akui anak-anak muda sekarang itu terampilnya cepat sekali. Daya tangkapnya itu cepat sekali, tapi, ya maaf, sedikit yang pakai ‘nyawa’, yang pakai rasa. Dia terampil lompat, jatuh, ‘set’, langsung begitu, langsung gini lagi. Sangat-sangat terampil sekali. Tapi kalau penari-penari dulu kalau udah bilang, “Kae ki nari opo senam, to? (Orang itu menari atau senam?). Akrobatik to?” Belum nari dia. Tapi orang sepintas gitu, “Wah, bagus banget ya.” Bagus karena dia bisa lompat setinggi itu, bisa jatuh langsung berdiri lagi. Tapi nggak ada nyawanya. Kurang ada nyawa. Terampil untuk hafalan itu cepat sekali. 

SSD: Apakah praktik belajar juga melibatkan kegiatan harian untuk melatih rasa, seperti menyapu dan lainnya?

TH: Oh, ada kalau dulu waktu saya masih nyantrik, ya. Ada. Selain kalau di sekolah atau di asrama kan piket ya. Nyapu, terus masak. Itu kalau nyapu udah biasa, udah pekerjaan cantrik-mentrik.

SSD: Bagaimana mengevaluasi praktik nyantrik, khususnya yang dilakukan Pak Bagong atau kakak-kakak pembina? Bagaimana mengukur sebuah karya tari; apakah didiskusikan bersama atau disampaikan oleh kakak pembina?

TH: Ya kalau itu biasanyas yang kerja di lapangan langsung, itu biasanya kalau sudah selesai habis di lapangan terus kita kumpul, evaluasinya ya hanya khusus garapan itu. Garapan yang besok akan dipentaskan. Eh, tadi tempat mas Hanung yang sana tadi kok kaya gimana ya, komposisinya kurang gini, gini, gini. Lha, ini mas Hanung harus gini, gini. Nah itu evaluasi secara langsung. Seperti yang ujung sana tadi itu, tempat Mbak Sri itu bagus beloknya, “seeett”, itu kok bisa ya? Delapan hitungan langsung jadi kaya gitu, yang ini kok tadi nggak jadi-jadi apa, rusak garisnya acak-acakan. Evaluasinya hanya sebatas itu. 

SSD: Kalau di akhir ada, Bu? Akhir setelah pentas, misalnya?

TH: Setelah pentas ya biasanya sudah semua lelah. Sukses! Show! Sudah. Ibaratnya itu makan nasi buang pincuk. Sudah selesai. Makan sega (nasi) kucing, itu. Selesai bungkusnya buang. Karena setelah berkarya langsung selesai. Makan nasi buang pincuk. Makan sega kucing itu selesai, bungkusnya lalu dibuang.