Nyantrik dari Jaman Edan hingga Edan Lagi
Oleh Khoiril Maqin
Jauh sebelum peristiwa kemerdekaan. Kyai Kholil bin Abdul Lathif (1820), kyai kesohor dari Bangkalan, melakukan sesuatu dengan santri dan tambak ikannya. Suatu ketika ia menyuruh seorang santri memberi makan ikan. Santri itu berjalan ke papan bambu di atas tambak. Sesampainya di tengah, Kyai Kholil menjomplangkan papan itu. Terceburlah santri yang malang ke dalam tambak. Dari tuturan turun menurun, orang-orang tahu kemudian, santri yang basah kuyup itu ialah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (1871). Kisah yang paling ekstrem, suatu hari dipersilahkanlah Kyai Hasyim muda memanjat pohon pepaya, lalu sang guru, Kyai Kholil menebang pohon pepaya itu. Si santri kebetulan bukanlah murid Dumbledore di Hogwarts, atau Harry dengan sapu terbangnya, tentu saja ia terjatuh.
Cerita Kyai Kholil mengatakan satu hal: nyantrik bukan hanya peristiwa sejarah, sebagai fakta, ia serempak bertaut dengan dimensi fiksional. Yang saya maksud fiksional di sini ialah sisi imajinasi, utopia dan peran ‘dunia dalam’. Bukan sesuatu yang buruk dalam artian tidak akan pernah terjadi, atau omong kosong. Tapi utopia dalam tradisi masyarakat Jawa. Batasnya menjadi kabur justru karena menyatu dengan praktik sehari-hari. Karakteristik ini terlihat sangat nyata dalam cerita-cerita nyantrik jaman dulu yang sering kita dengar. Sisi utopia yang sering disebut dalam sejarah ialah satria lelana dan kaitannya dengan tanda-tanda jaman edan. Contoh lain seperti hubungan pande dan mpu, laku mereka membuat gamelan dipandang sebagai perjalanan mistis tapi sangat berguna kemudian hari. Di pesantren, ada istilah cah ndalem dan kedekatannya dengan sang kyai, yang kemudian sering dikaitkan keajaiban/berkah yang diterima santri setelah ia keluar pesantren. Begitu juga dalam belajar bertani, imajinasi dan utopia itu juga bergulir. Saya ingat cerita ibu saya sewaktu ia mulai belajar bertani dari ayahnya, “meludahi tangan sebelum mulai nyangkul, masuk ladang dengan kaki kanan dulu”. Ibu saya juga menambahkan, “pokoknya harus mengikuti supaya selamat”.
Yang utopia memang tak pernah tercerai. Suatu hari, lagi-lagi kisah Kyai Kholil, ia memerintahkan para santri senior untuk membuatkan kurungan ayam. “Esok akan datang ayam jago dari Jawa ke sini,” katanya. Yang disebut datang juga, seorang pemuda. Kehadirannya disambut dengan sang kyai, Kyai Kholil Bangkalan, dengan mengurung santri baru itu ke dalam kurungan ayam. Hebohlah santri-santri lainnya, mengira bocah baru tadi dungu atau dihukum karena melakukan kesalahan (takzir). Pemuda itu dipermalukan habis-habisan dan dihinakan. Ketika sudah di-garap rame-rame, datanglah sang kyai, “Kalian kok menghina anak ini, kalian tidak tahu dia siapa, anak ini di kemudian hari akan menjadi jago!”. Bocah itu ialah Kyai Maksum Lasem yang sangat terkenal kealimannya, ayahanda Kyai Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta.
Jika bisa disebut virtualitas imajiner, nyantrik memiliki peran imajinatif yang mengisi-menggerakkan satu peristiwa sejarah. Sejarah bukan lagi melulu jalinan fakta-peristiwa yang objektif-terindra, tetapi juga pertaruhan imajinatif tempat berbagai konten imajiner bertemu, bertentangan, dan tenggelam mengisi benak manusia dan kemudian melahirkan aksi. Hal tersebut terlihat jelas jejaknya pada apa yang disebut Ben Anderson dalam ‘revolusi pemuda’ di Jawa. Anderson menjelaskan soal potensi revolusioner golongan pemuda yang tumbuh saat jaman edan (totalitarianisme Jepang), serempak dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada imajinasi tentang sosok pemuda sebagai satria lelana. Kepercayaan itu tumbuh sebagai utopia imajiner yang mengisi ‘dunia dalam’ pemuda Jawa. Jika dalam masa tentram mereka laku tapa brata untuk memperoleh kesaktian, dalam masa krisis, utopia imajiner itu menyediakan jawaban untuk mengatasi kehancuran sosial dan tanda-tanda ketidakseimbangan alam. Para santri-pemuda dalam kondisi krisis akan keluar dari pertapaan mereka dan menjadi sumber pimpinan tradisional bagi berpuluh-puluh pemberontakan petani di abad terakhir pemerintahan Belanda (Anderson, 1988).
Setelah seorang pemuda memasuki masa ‘ambang’, dari anak-anak menuju dewasa, ia tidak lagi ditentukan oleh keluarga. Ia kemudian mengundurkan diri dari keluarga dan bersiap bertemu seorang guru. Guru bisa seorang anggota keluarga yang lebih tua dan seorang yang bijak. Bisa juga seorang jago sekitar rumah –ahli ilmu gaib, ahli pencak, ahli ilmu kebal (ngelmu kedotan). Seorang kyai kesohor mungkin juga menjadi sosok ideal untuk ngelmu. Pemuda-pemuda itu tinggal bersama gurunya, mereka diberi makan dan tempat tinggal. Sebaliknya, mereka mengerjakan ladang sang guru dan mengerjakan pekerjaan lain. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa nyantrik dapat menyiapkan kaum muda untuk otonom. Bahkan, setelah diberlakukannya romusha, semakin melatarbelakangi santri-santri ini kembali ke kampungnya. Meskipun begitu, tetaplah ada sejumlah kecil pemuda yang tetap tinggal di pesantren, meningkatkan kedalaman ilmunya. Kelompok ini menjadi santri keliling mencari guru-guru yang lebih arif dan mereka dikenal menyimpang. Bujangan seperti itu, selalu ada dalam masyarakat tradisional Jawa, menjalin hubungan antara dunia nyata dan gaib. Dalam kelompok inilah unsur utopis, keinginan mendapat kehidupan lebih tinggi selalu menarik dan mendapat banyak pengikut. Anderson menegaskan:
“Hanya dengan mempertimbangkan tradisi inilah maka mungkin dimengerti situasi pemuda pada bagian akhir pendudukan Jepang, karena menjelang tahun 1945 kekacauan-kekacauan yang disebabkan oleh jatuhnya rezim kolonial Belanda dalam tahun 1942 dengan tiga tahun perang dan kekuasaan militer Jepang telah mempercepat terjerumusnya masyarakat Jawa ke dalam kegelisahan, atau rasa lepas dari ikatan-ikatan yang secara tradisional menjadi pertanda akan munculnya para santri ke dunia luar” (1988:29-30).
Dari merekalah kemudian tumbuh apa yang disebut sebagai nasionalisme populer akibat pengalaman tertindas, lalu menumbuhkan kepercayaan pada kekuatan massa, solidaritas, persaudaraan dan kepercayaan pada kemungkinan-kemungkinan melahirkan perubahan baru di masyarakat koloni. Peran tersebut menunjukkan potensi revolusi sosial yang diemban kelompok pemuda-santri pada masa awal revolusi Indonesia. Bermula dari imajinasi jaman edan itu, kepercayaan orang pada nyantrik terus tumbuh. Mungkin imajinasi jaman edan hari ini bisa lain, yang perlu dicatat, nyatanya banyak kaum muda memutuskan datang ke pesantren hingga hari ini. Sekelompok kecil lainnya, datang ke Sekolah Salah Didik (SSD), tertarik untuk mendalami nyantrik.
Cah ndalem dan laku konyol kyai
Saya tidak terlalu yakin dengan sisi utopia ini, tapi dari dalam, ia meminta untuk diperhitungkan. Barangkali berkaitan dengan sejarah kecil dan imaji-imaji ‘lain’ yang pernah saya alami. Saya ingat sebuah jejak masjid jami’ besar Baiturrahman. Sebuah situs dari dekade lain, putih tinggi dan lebar. Tapi bukan bangunan yang arogan. Ia berdiri di jalanan kampung menuju rumah orang tua saya. Sebagai seorang bocah yang berlalu lalang di depannya, saya melihat situs itu selalu berbeda. Ada semacam cerita-cerita di dalamnya yang tak pernah bisa saya jangkau. Beberapa sosok keluar masuk dengan fesyen serba putih, misterius. Kemudian hari saya tahu, mereka adalah orang-orang tarekat.
Sekitar tahun 2003, masjid itu diruntuhkan berlahan, lalu dibangun dengan arsitektur baru. Gambar-gambar di kepala saya pun pudar. Saya juga sudah terlanjur menjadi skolastikus Muhammadiyah. Akan tetapi cerita-cerita karomah seorang wali, kekonyolan kyai, santri bersarung sambil main voli, selalu merembes ke telinga. Menjadi bagian dari keseharian yang tak bisa dilewatkan. Terlebih lagi, ada sebuah site of memory yang jauh dan bukan bagian dari kultur saya, tapi selalu mengganggu. Seperti makam-makam lawas, pondok sesek dan gedek, dan sarung-sarung santri Pondok Al-Wafa yang berkibar di pinggiran Jalan KH. Abdurrahman, Tempurejo, Jember. Misalkan ini tidak terlalu membuat terang, belum lama saya memanggil ingatan itu di tempat lain.
Seminggu sehabis lebaran, sekitar pertengahan Juni 2019, saya menempuh perjalanan 9 jam dengan motor beat mungil saya dari Jember menuju Rembang. Saya menjumpai Ahmad Nadzir, teman kuliah di fakultas filsafat dulu. Seorang santri tua, tukang koleksi buku-buku wacana Islam, sekaligus teman paling udik yang pernah saya kenal. Nadzir juga pengurus Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar di Desa Kumbo, Kecamatan Sedan. Di pondokannya, ia bercerita soal kehidupan pesantren. Nadzir juga menunjukkan beberapa kitab wajib seorang santri yang sedang ia pelajari. Di emperan pondokan, beberapa santri yang tidak pulang kampung kelekaran di lantai. Mereka sedang memutar musik pop, dangdut, dan beberapa video lucu.
Setelah mengobrol panjang lebar di malam itu, paginya, kami sarapan di rumah ndalem, rumah sang kyai. Sebagian besar operasional rumah itu, dan juga beberapa kompleks pondokan, termasuk memasak, dikerjakan oleh santri. Tukang masak tidaklah berganti-ganti, beberapa orang yang bertugas masak, terus menerus melakukan bagiannya di samping tugas belajar kitab dan sekolah di madrasah. Kesibukannya memang berlipat dibanding santri lainnya. Begitulah kegiatan cah ndalem dari hari ke hari. Memasak, mencuci, bersih-bersih. Akan tetapi, kegiatan domestik itu juga membahagiakan karena kedekatan mereka dengan keluarga ndalem. Yang berarti lebih dekat dengan berkah.
Kedekatan cah ndalem ini tidaklah hierarkis. Posisinya tidak lebih tinggi dari santri-santri yang hanya belajar. Karena posisi nyantri di sini ‘diucapkan’ oleh seorang santri/murid. Padanannya dalam bahasa Indonesia ialah ‘berguru’. Dalam mindset pondok, “murid itu nggolek guru” kata Nadzir. “Yang artinya mencari guru yang tepat”. Santri diartikan sebagai seorang yang manut guru. Posisinya menjadi pelayan guru, “dadine garek sing ngakon”. Karena asumsinya, apapun yang disampaikan seorang guru adalah dalam rangka belajar. Pernah ada cerita jaman kawak, di sebuah pondok di Lasem, misalnya, seorang kyai, akrab dipanggil Umar bin Harun menyuruh santrinya menghafal kitab di puncak pohon asem yang tinggi di pinggiran Jalan Pantura –sebelum ada aspal panjang nan luas. Mereka tidak boleh bertengger di bagian cabang paling bawah. Sebelum hafal tidak boleh turun. Apabila santri mengantuk, kita tahu, ia akan jatuh dan mungkin bakal lupa diri kalau dia santri. “Anehnya, bocah yang seperti inilah yang dadi wong,” kata teman santri saya, menanggapi.
Karena nyantrik berangkatnya dari kebutuhan si santri, maka bunyinya seperti: saya butuh ilmu ini, maka saya mencari yang punya ilmu tersebut dan menyerahkan diri saya sebagai jalan masuknya ilmu. Pengertian seperti ini jarang dilihat orang-orang di luar pesantren. Melihat guru/kyai sebagai otoritarian yang mengambil keuntungan dari ‘penyerahan diri’ santri. Konsep ‘butuh’ melatari penyerahan diri tersebut. Perasaan santri mengabdi pada Kyai tidak pernah kita ketahui dan susah dijelaskan dalam judgement pendidikan formal.
Porsi cah ndalem ngaji lebih pendek dibanding rutinitasnya melayani. Banyak cerita yang menyebut beberapa cah ndalem akhirnya menjadi Kyai ternama atau mendapat tempat di luar pesantren, ide-idenya juga moncer dan dianggap progresif. Memang, tidak ada jaminan bahwa kedekatan dan posisinya membuat ia lebih tahu dari yang lain. Kepintaran bukalah ukuran keluaran pondok. Tapi urusannya dengan bagaimana rutinitas itu berhubungan dengan barokah, dan barokah terkait dengan laku intens “meng-kyai-kan Kyai” atau “menggurukan Guru”. Mungkin si santri tidak terlalu pandai kitab, tapi ia punya penghormatan pada sosok Kyai dan membuat dirinya dihormati kemudian hari. Ada juga yang menguasai tata bahasa dan membaca kitab dengan lancar, bukan cah ndalem, tapi ia melakukan hal-hal kecil seperti mempersiapkan meja ngaji, menggelar tikar atau menata sandal.
Peran hal-hal kecil yang dilakukan santri seperti justru menjadi sentral. Bahkan ada cerita seorang santri bernama Abdullah dari Kuningan, ngaji di Pesantren MIS (Ma’hadul Ilmu As-Syar’i) di Sarang, punya kebiasaan yang unik. Ia menaruh karak (nasi kering sisa) di atas genteng. Prinsipnya dia ialah ‘yang penting perut tidak kosong’. Jadi ritualnya tiap hari menyundul genteng itu dengan tongkat kayu, sekali saja, “Duk!”. Berapapun karak yang jatuh, itulah yang ia makan. Entah segenggam atau beberapa biji. Orang Jawa mengatakan, “begitulah yang namanya tirakat”.
Jika kalimat saya ini tidak kurang ajar, pertanyaannya kemudian ialah, bagaimana distribusi barokah itu? Apakah datangnya barokah ketika seorang santri melakukan tradisi pesantren dan meng-kyai-kan Kyai terus menerus? Berdasarkan wawancara lebih lanjut dengan Nadzir beberapa waktu lalu, ia mengartikan barokah dalam tiga tatanan waktu. “Dalam keadaan sedang tapi juga sampai nanti”, katanya. Ada barokah yang dapat dipetik hari ini, dirasakan keesokannya atau nanti setelah ia keluar. Artinya barokah tidak benar-benar ‘jauh di sana’, rutinitas material dapat diartikan sebagai wadah dari barokah itu. Lebih jauh lagi, rutinitas menyapu lingkungan pesantren atau melayani ndalem, bisa dimaknai sebagai persiapan tubuh dan jiwa santri untuk merima ilmu. Sehingga kemudian hari ilmu siap ‘diberikan’. Istilah diberikan bukan dalam pengertian otoritas penuh Kyai. Kyai hanya ‘membuka’ dan ‘mempersiapkan’ santri sebagai ‘penerima’ pengetahuan. Seorang santri bisa dibiarkan berbulan-bulan untuk wiridan, bersih-bersih, atau pekerjaan tangan sederhana, hingga sang kyai melihat tubuh dan jiwa yang layak.
Sang kyai melihat ‘kelayakan’ dengan cara yang kita tak tahu. Tapi tidaklah begitu gelap sehingga kita tidak melihat apa-apa. Seperti kisah yang diceritakan oleh Kyai Muhammad Asyrofi pengampu Pondok Kumbo, guru Ahmad Nadzir. Alkisah Kyai Imam Kholil bin Syueib (Pondok MIS) menghukum santrinya kencing mengelilingi mushola. Syaratnya kencingnya tidak boleh terputus, harus menyambung ke titik pertama. Entah bagaimana ceritanya, santri tadi berhasil menyambung kricik kencingnya. Kemudian hari, santri ini punya kemampuan mengendalikan air. Sebuah keahlian mencari sumber air yang membuatnya kondang, Abdurrasyid pengendali air dari Ungaran. Hingga suatu hari ia pernah disewa PDAM Semarang. “Mungkin ini barokahnya aku disuruh kyai kencing dulu,” angan si santri.
Untuk merangkum kisah-kisah tersebut, saya ambil uraian Samudja Asjari soal empat nilai pesantren, yaitu: kesederhanaan, semangat kerja sama, solidaritas dan keikhlasan. Kesederhanaan berisi kaum muda yang belum kawin, tanpa pelayan atau status. Sebuah pengunduran diri dari hierarki masyarakat. Semangat kerja sama dan solidaritas seperti melarutkan diri kepada masyarakat semata-mata untuk mengejar hakikat hidup. Keikhlasan terjemahan dari hubungan santri dan kyai tanpa hitungan untung rugi. Santri haruslah tekun dan percaya (taklid), tanpa itu tidak bisa menyerap misteri-misteri ngelmu yang dikuasai kyai. Mundur dari masyarakat umum, masuk ke pesantren menciptakan rasa tak terikat dan lepas mengambang, meski nantinya akan kembali (Anderson, 1988; Asjari, 1967).
Laku terus menerus seorang santri di lingkungan pesantren, tumbuh dan menguat bersama imajinasi dan utopia yang mereka percayai. Menariknya, laku dan imajinasi itu dibawa hingga ia keluar dari pesantren. Beberapa kisah mereka begitu fenomenal hingga diceritakan turun menurun ke generasi santri yang lebih muda. Menjadi sumber obrolan sehari-hari dan dipercaya kemujarabannya, dan tentu saja kelucuan-kelucuannya yang membuat cerita itu tiada habis-habisnya untuk dikisahkan. Imajinasi dan utopia juga dibangun dari cerita-cerita itu, selain kisah dan karisma sang kyai.
Kisah lain di tempat yang tak terlalu jauh
Lalu, apa ada utopia hari ini? Apakah ini melulu cerita pesantren dan kisah-kisah santri bersarung? Kalau saja tidak keterlaluan, bentuk-bentuk ini seperti sejarah pengajaran proletariat. Tradisi pengajaran santri memang sejarah istimewa, sekaligus kekonyolan otoritas pengetahun yang menggembirakan, tapi yang bukan santri bukanlah cerita yang benar-benar lain. Semacam cerita dengan judul The Nights of Labour. Kakak sepupu saya, Jeki, pada suatu hari lebaran sekitar tujuh tahun lalu, bercerita tentang pekerjaannya di sebuah pande besi. Jeki bertugas menempa besi menjadi pisau, cangkul dan wedung atau caluk. Sang supervisor, yang sekaligus pemilik bengkel pande itu, melihat tahap demi tahap pekerjaannya. Jika ayunan tangannya salah, terlihat tidak serius, Jeki akan dibentak. Jika ada tahap yang terlewat, ia akan dimaki lebih dari bapaknya menyumpahinya ketika ia tidak bekerja. “Soro tenan, kudu pas, manganku yo tambah akeh”, kata Jeki sambil menunjukkan tangannya yang berotot.
Sebelum bekerja di sana, seperti kebanyakan remaja di kota Balung, Jember, ia ikut berjualan di pasar. Menggendong kotak di depan, isinya barang-barang kecil seperti korek, cutton bud, lem panci dan barang-barang kecil lainnya. Sore hari, Jeki dan kelompoknya menghampiri bos untuk menyetor hasil jualannya. Di belakang gang tak jauh dari rumahnya. Jeki menyetorkan sejumlah yang terjual dan mengambil bagiannya. Bos kecil pemilik barang-barang ini, kemudian membuka semacam obrolan yang isinya mirip konsultasi atau saran-saran berjualan. Lalu mereka saling menimpali. Saya tahu, untuk ukuran waktu itu, untungnya tidak begitu besar. Keesokan hari hingga usaha tutup, mereka tetap melakukan ritual berbagi pengalaman berjualan hari itu.
Keluarga Jeki tidak percaya pendidikan formal, atau pada nota pembayaran SPP, mungkin, dengan berjualan malah menyediakan cerita lain. Kebetulan kakek kami adalah keturunan arab jauh, pedagang ulung, bos becak, “badannya tinggi besar, punya becak puluhan, ia keturunan Pakistan,” kata bapak saya, berulang-ulang. Meski diakhir cerita kakek kami bangkrut.
Sumber:
Anderson, Ben. 1988. Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Asjari, Samudja. 1967. Kedudukan Kjai dalam Pondok Pesantren. Skripsi sarjana Universitas Gadjah Mada.